Dewasa ini
dalam era Reformasi, paralel dengan perkembangan dunia yang semakin transparan
serta informasi yang sangat cepat, masyarakat atau rakyat sudah tidak dapat dibohongi
lagi oleh pihak penguasa bahkan semakin tidak takut, mereka semakin kritis dan
jeli memandang setiap persoalan-persoalan dan gejolak yang timbul.
Dalam negara
Republik Indonesia sebagai suatu negara yang didasarkan atas hukum, pelaksanaan
hukum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah sebagai Penguasa (Eksekutif),.
Pemerintah yang melaksanakan segala sesuatu mengenai kehidupan rakyatnya.
Pemerintah dan yang diperintah sebenarnya merupakan dua subyek yang saling
membutuhkan dan seharusnya saling melengkapi, saling membantu dan saling
menghargai. Sebagai pelaksana keputusan-keputusan Legislatif dibidang hukum,
maka pemerintah membentuk suatu instansi yang khusus dapat mengamati kehidupan
serta pelaksanaannya didalam masyarakat. Wakil-wakil pemerintah (Aparatur
Hukum) dibidang pelaksana penegakan hukum antara lain adalah Lembaga Mahkamah
Agung atau Pengadilan.
Bahwa
eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas
bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan
atas hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi
disatu sisi hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan
sebagai dasar pengujian terhadap tindakan pemerintah.
Administrasi
Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah
yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai
segi kehidupan masyarakat.
Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata Usaha Negara
yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan :
a)
Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ;
b)
Mengeluarkan Peraturan (regeling)
c) Melakukan
perbuatan materiil (Materiele daad)
Karena
perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu
lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan
hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3
(tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha
Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam
butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara
dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai
perbuatan-perbuatan Administrasi Negara pada butir b dan c tidak termasuk
kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun
Peradilan Umum.
Dengan
demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan,
walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara.
Bahwa yang
dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004,
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau Badan Hukum Perdata”.
Dari bunyi
ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud Keputusan
TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan adanya
ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.
Bahwa segenap
elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi objek
sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;
Walaupun
suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori Keputusan
TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut.
Batal atau
Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
Bahwa dalam
tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang maksudnya
bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan,
sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.
Badan
Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal atau
tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004.
Bahwa secara
umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara adalah
sebagai berikut :
SYARAT
MATERIIL :
a) Keputusan
harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
b) Karena
keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
c) Keputusan
harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan
pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana
hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
d) Isi dan
tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;
SYARAT
FORMIL :
a)
Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan
dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;
b) Keputusan
harus diberi bentuk yang ditentukan ;
c)
Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus
dipenuhi ;
d) Jangka
waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya
keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;
Bahwa bagi
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat hubungannya dengan
fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).
Berdasarkan
ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut pendirian yang
mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya
Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh,
maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan
untuk menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan
Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat
TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan norma-norma
hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi
tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Dasar
pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :
a) Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ;
b) Badan
atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ;
c) Badan
atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Di dalam
praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara terhadap
Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 diatas, adalah
meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :
1. Aspek
kewenangan :
yaitu
meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan,
Dasar kewenangan
Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari perundang-undangan yang
melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya pemindahan/pengalihan suatu
kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini tidak ada pengakuan kewenangan
atau pengalihan kewenangan).
2. Aspek
Substansi/Materi :
yaitu
meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara
materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Aspek
Prosedural :
yaitu apakah
prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah
ditempuh atau tidak.
Pengujian
tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi
juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yaitu
:
1. Asas yang
berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan
- Persiapan
yang cermat ;
- Asas fair
play ;
- Larangan
detournement de procedure (menyalahi prosedur);
2. Asas yang
berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :
- Keharusan
memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu keputusan ;
-
Pertimbangan tersebut harus memadai ;
3. Asas yang
berkaitan dengan isi keputusan :
1. Asas
kepastian hukum dan asas kepercayaan ;
2. Asas
persamaan perlakuan ;
3. Larangan
detournement de pouvoir ;
4. Asas
kecermatan materiil ;
5. Asas
keseimbangan ;
6. Larangan
willekeur (sewenang-wenang)
I.
PENDAHULUAN
Dalam
sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan
negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman).
Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU
No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Peradilan
Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir
dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada
tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat
dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga
masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia
adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum
dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai
negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan
memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga
tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila
dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap
pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial
atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam
konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU
No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang
hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun
1986.
Perubahan
yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya
wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi,
administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya
beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi
lembaga PERATUN.
Di samping
itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta
publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau
melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh
sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi”
nya.
Sejak mulai
efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan
diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta,
Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di
jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang,
dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu
Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi
dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas
dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara
anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai
kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan
prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan
fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
Sesuai
dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para
aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang
lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh
karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara
(Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas
tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal
ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur
pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat
menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di
samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah
dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya
gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah
dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif).
Penyajian
makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan
memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para
aparat pemerintah , karena memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat
yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).
II. RUANG
LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
Peradilan
Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai
tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang
atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN
(pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu
Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4
UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Berdasarkan
uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di
Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi
objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek
dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan
mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian
dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :
“Keputusan
Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Selanjutnya
dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil
unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari
1. Bentuk
Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan
Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum
yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan
tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis
tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan
Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1
angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan
mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya
tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu
Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah
jelas :
- Badan atau
Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
- Maksud
serta mengenai hal apa isi putusan itu.
- Kepada
siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat
konkrit, individual dan final.
- Serta
menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
2.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai
suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen
yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat
TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan
Badan atau
Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan atau
Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau
Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan
atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila
yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa
saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap
sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
Sedang yang
dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai
masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun
yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan
tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan
legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat
dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di
Peratun.
3. Berisi
Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu
bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk
dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN
itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan
suatu akibat hukum TUN.
1.
Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata
“berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan
urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan
perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar
legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN
(pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan
atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya
berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Bersifat
Konkret, Individual dan Final.
Keputusan
TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan
TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti
Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan
sebagainya.
Bersifat
Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun
hal yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau
keadaan tertentu yang nyata dan ada.
Bersifat
Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan
mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang
definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut
ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat
itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan
TUN yang bersangkutan secara final.
1.
Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.
Menimbulkan
Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum
yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum,
maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan
akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu
Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus
mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada,
seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah
ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Di samping
pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam
UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan
TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
(1) Apabila
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata
Usaha Negara.
(2) Jika
suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam
hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan
dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang
Fiktif atau Negatif.
Uraian dari
ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau
Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang
diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari
Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN
melalaikan kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap
suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak
permohonan tersebut.
Ada kalanya
dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu
permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah
lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum
juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak
permohonan yang diterimanya.
Sementara
itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak
menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan
yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat
TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah
menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal
3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi
pengadilan).
Selanjutnya
disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang
mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi
pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN
seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah
dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal
49, yang menyebutkan :
“Pengadilan
tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam
waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Keadaan-keadaan
tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran
dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan
bahaya, bencana alam dan sebagainya.
Selanjutnya
dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
undang-undang ini :
1. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum.
III. HUKUM
ACARA PERATUN
3.1.
Karakteristik Hukum Acara Di Peratun.
Secara
sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk
mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di
Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5
tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.
Penggabungan
antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri
yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada
pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan
hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai
pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai
berikut :
+ Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
+ Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam
petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
+ Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
+ Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa
di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
+ Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk
mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103).
+ Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat
dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan
Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat
selaku pemegang kekuasaan publik.
+ Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian
bebas yang terbatas (Pasal 107).
+ Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda
pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
+ Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita
yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi
dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang
lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
+ Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya
putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan
tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
+ Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para
pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.
3.2.
Gugatan.
3.2. 1.
Pengertian Gugatan.
Mengenai
pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :
“ Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan”
Gugatan di
Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh
karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang
sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat
(1), sebagai berikut :
“ Orang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Dari
ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai
Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
Selanjutnya
Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan,
adalah:
a. Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Suatu
gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal
yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal
56, yaitu :
a. nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b. nama
jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c. dasar
gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
3.2.2.
Pengajuan gugatan.
Menurut
Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu
akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Apabila
Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan
tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan
pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak
berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada
pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada
di luar negeri gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,
dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan
Tergugat.
Salah satu
kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi
juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN
tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, sebagai berikut :
“ Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ”.
Berhubung
sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka
pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya
keputusan yang bersangkutan.
Pasal 55
menyebutkan bahwa :
“ Gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan ”.
Dalam hal
gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan
Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung
setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya,
maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung
sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu
tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena
telah daluarsa.
Diajukannya
suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda
atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun
demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat
Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan,
dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya
alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan
sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal
67 ayat 4 a).
3.3.
Pemeriksaan di persidangan
3.3. 1.
Pemeriksaan Pendahuluan.
Berbeda
dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu
kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan
Pendahuluan.
Pemeriksaan
Pendahuluan ini terdiri dari :
a. Rapat
permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62).
b.
Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63).
Ad. a. Rapat
Permusyawaratan (Proses Dismissal) :
Rapat
permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap
penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62.
Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan
administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan
tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan
apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
mengadilinya.
Dalam proses
dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak
diterima atau tidak berdasar, apabila :
a. Pokok
gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk
wewenang Pengadilan.
b.
Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh
penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c. gugatan
tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang
dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat.
e. Gugatan
diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua
belah pihak. Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat
seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56.
Perlawanan
diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang
dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau
dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat
permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan
diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan
pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti
banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat
pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ad. b.
Pemeriksaan Persiapan.
Pemeriksaan
persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah
warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan
Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk
mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan
gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan
Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka
untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk :
* Memberikan
nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan
melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30
hari.
* Meminta
penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah
pemeriksaan sengketa di persidangan
Apabila
jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut
tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang
menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan
tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.
3.3.2.
Pemeriksaan Tingkat Pertama.
Pemeriksaan
di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka
pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN).
Pemeriksaan
ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a.
Pemeriksaan dengan acara biasa.
b.
Pemeriksaan dengan acara cepat.
Dalam proses
pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu orang atau
badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses
pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).
3.4. Putusan
Pengadilan
Dalam hal
pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian
surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya
para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan
pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah
kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah
guna mengambil putusan.
Putusan
pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :
a. Gugatan
ditolak.
b. Gugatan
dikabulkan.
c. Gugatan
tidak diterima.
d. Gugatan
gugur.
Terhadap
gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu
berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
a.
Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b.
Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang
baru.
c.
Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Disamping
kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada
Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal
menyangkut sengketa kepegawaian.
IV. UPAYA
HUKUM
4.1. Upaya
Hukum Banding.
Terhadap
para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat
pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan
PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan
pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang
khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut,
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada
yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding
dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat
melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan
tersebut.
Para pihak
dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan
bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan
ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak
lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan
banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3
(tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa
pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi
tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan
tambahan.
Setelah
pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi
TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi
tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan
TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai
pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum
sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN.
Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak
dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan
permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
4.2. Upaya
Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Terhadap
putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah
Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang
menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara
pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut
Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang
diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini.
Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara
juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sementara
itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan
Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar
biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan
Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :
Ayat (1) :
“Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat (2) :
“Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.”
V.
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Putusan
pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.
Putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut
telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan
tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat
tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai
contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding
ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana
yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut,
sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat
diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai
mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9
Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini
dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta
publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau
melaksanakan putusan Peratun.
Lebih lanjut
Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun,
sebagai berikut :
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas
perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam
hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam
hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga)
bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar
Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Dalam
hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
(5) Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
0 komentar:
Posting Komentar